Pendudukan Jepang Di Sumatra Barat
Pendudukan Jepang di Sumatera Barat dimulai dari tahun 1942 sampai tahun 1945 ketika wilayah ini dikuasai oleh Kekaisaran Jepang. Jepang memasuki Kota Padang pada 17 Maret 1942 dan dalam sepuluh hari seluruh kota penting di wilayah Sumatera Barat diduduki tanpa perlawanan dari Belanda. Pendudukan Jepang di wilayah ini berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Pada masa awal pendudukan Jepang, peristiwa yang terjadi di Padang banyak dipengaruhi oleh Soekarno. Pada Oktober 1943, Jepang memerintahkan pendirian Giyugun untuk membantu pertahanan. Dipimpin oleh Chatib Sulaiman, Giyugun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Tentara sukarela ini kelak menjadi tulang punggung kekuatan bersenjata Indonesia setelah kemerdekaan. Jepang memulai invasinya di Sumatra pada Februari 1942 dengan menerjunkan unit-unit pasukan payung di Palembang. Menurut Audrey Kahin, Jepang bermaksud mendahului rencana Belanda yang akan merusakkan instalasi minyak di dekat Palembang. Dari Palembang, balatentara Jepang segera menyebar ke arah selatan dan utara Sumatra. Pada pertengahan Maret, pasukan dalam jumlah yang lebih besar mendarat di pantai utara dan timur Sumatra, lalu bergerak cepat ke selatan. Melalui Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942, Belanda menyerahkan wilayah jajahan Indonesia kepada Jepang. Setelah pendudukan dimulai, Jepang membagi Indonesia dalam tiga wilayah pemerintahan militer. Wilayah Sumatra berada di bawah Departemen Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Rikugun) ke-25 di Singapura yang dipimpin Jenderal Tomoyuki Yamashita. Namun, komandan militer Belanda di Sumatra A. I. Spits mendeklarasikan tentara Belanda di Sumatra akan terus berjuang hingga tetes darah terakhir. Masuknya Jepang ke Sumatera Barat hampir berbarengan dengan pergerakan mereka di berbagai daerah Sumatra lainnya. Tentara angkatan perang Jepang memasuki Kota Padang pada 17 Maret 1942. Dalam hitungan hari, seluruh Sumatera Barat dapat mereka kuasai dan komandan militer Belanda di Sumatra menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Atap Jam Gadang mengikuti bentuk atap pagoda (tengah) sewaktu pendudukan Jepang. Jepang selama tahun pertama pendudukan adalah memfungsikan aparatur pemerintahan di Sumatra sehingga dengan demikian mereka dapat memanfaatkan secara efisien sumber daya vital di Sumatra, terutama ladang minyak dekat Palembang dan perkebunan karet di Sumatra Timur.nzsearch.co.nz Jepang menghidupkan kembali sistem pemerintahan peninggalan Belanda dan mengangkat kembali sebagian besar mantan pejabat Indonesia yang pernah duduk di birokrasi sebelumnya. Sumatra dalam struktur pemerintahan pendudukan pada mulanya berada di bawah kekuasaan Angkatan Darat ke-25 yang berpusat di Singapura. Namun, Komando Angkatan Darat ke-25 berkesimpulan bahwa mereka tidak mungkin memerintah Sumatra dari markas besarnya di Singapura, foursome terutama dalam usaha melindungi daerah di sekitar instalasi-instalasi vital. Pada 1 Mei 1943, markas besar Angkatan Darat ke-25 dipindahkan dari Singapura ke Bukittinggi dan Sumatra yang sebelumnya tergabung bersama Malaya dijadikan unit pemerintahan sendiri. Jepang membagi Sumatra menjadi 10 shū (identik dengan daerah administratif residen pada zaman Belanda) yang masing-masing dikepalai oleh seorang shūchōkan. Keresidenan Sumatera Barat dibentuk pada Agustus 1942 dengan nama Sumatora Nishi Kaigan Shū. Keresidenan ini beribu kota di Padang. Mantan Gubernur Prefektur Toyama Yano Kenzo menjabat sebagai shūchōkan pertama. Sebagai pemimpin sipil untuk wilayah Sumatera Barat, Yano Kenzo tiba di Padang tanggal 9 Agustus 1942 bersama dengan 68 orang pegawai sipil. Pembagian unit daerah administratif Sumatera Barat hampir sepenuhnya mengacu pada pembagian yang dilakukan oleh Belanda pada tahun 1935 yang terdiri dari 5 afdeelingen, 19 onderafdeelingen, 20 districten, dan 49 onderdistricten serta sedikitnya 430 nagari. Sejarawan Gusti Asnan mencatat, sedikit perbedaan dari pembagian unit daerah administratif oleh Jepang adalah dikeluarkannya Fuku Bun Bangkinang dan dimasukkannya daerah itu ke dalam Rio Shū. Dalam menjalankan roda pemerintahannya di Sumatera Barat, Jepang tidak banyak melakukan perubahan struktur pemerintahan, kecuali perubahan nomenklatur ke dalam bahasa Jepang. Afdeeling yang dikepalai oleh asisten residen diubah menjadi bunshū yang dikepalai oleh bunshūchō. Onderafdeeling yang dikepalai oleh kontroler diubah menjadi fuku bunshū yang dikepalai oleh seorang fuku bunshūchō. District yang dikepalai oleh demang diubah menjadi gun yang dikepalai oleh gunchō. Onderdistrict yang dikepalai oleh asisten demang diubah menjadi fuku gun yang dikepalai oleh fuku gunchō. Pejabat Bumiputra tertinggi mengepalai gun dan struktur di bawahnya, fuku gun. Unit pemerintahan yang terkecil yaitu nagari diberi istilah son dan kepala nagari dinamakan sonchō. Kedatangan tentara Jepang di Padang semula dielu-elukan oleh rakyat, yang meneriakkan "Merdeka! Sejarawan Gusti Asnan mencatat, mata-mata Jepang sebelumnya sudah menyebarkan pengaruh pada rakyat Minangkabau. Sebagian dari orang Jepang yang bermukin di Sumatera Barat sejak dekade 1920-an berperan sebagai intelijen Jepang "yang dikirm guna melapangkan jalan bagi okupasi mereka". Rakyat telah diyakinkan bahwa kedatangan Jepang untuk membebaskan bangsa ini dari kekuasaan Imperialisme Barat. Jepang menyerukan semboyan Asia untuk bangsa Asia sebagai pembebas Asia dari kekuasaan imperialisme. Pada masa awal pendudukan Jepang, peristiwa yang terjadi di Padang banyak dipengaruhi oleh Soekarno. Soekarno tertahan di Sumatera Barat setelah pihak Belanda gagal membawanya ke Australia. Soekarno sampai di Padang pada Februari 1942 dan berada di kota tersebut selama 15 hari. Soekarno menunjukan sikap kooperatif terhadap Jepang. Namun, tokoh-tokoh PNI ketika mengadakan rapat di kantor Bumiputra, Bukittinggi, terpecah dua ke dalam kelompok yang mendukung dan yang menolak untuk bekerja sama dengan Jepang. Anwar Sutan Saidi sebagai Kepala Bank Nasional dan organisasi-organisasi perdagangan memilih menghindari jalur politik dan bergerak di jalur ekonomi dalam rangka mengumpulkan dana dan senjata bagi perjuangan kemerdekaan. Tamimi Usman memimpin sekelompok orang yang mengikuti cara Syahrir yang non-kooperatif dan menggerakkan kegiatan-kegiatan bawah tanah. Adapun kelompok yang dipimpin oleh Chatib Sulaiman mengikuti jalur perjuangan. Dalam pidatonya di Padang, Soekarno menghimbau rakyat agar tidak mengadakan perlawanan terhadap tentara Jepang karena kekuatan yang ada tidak sebanding. Menurut Soekarno, bangsa Indonesia harus memanfaatkan Jepang untuk mencapai cita-cita mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Melalui sikap kooperatifnya, Soekarno berhasil mencegah tindakan kasar tentara Jepang terhadap rakyat Sumatera Barat. Soekarno membujuk sebagain besar tokoh-tokoh bangsa di Sumatera Barat untuk bekerjasama dengan Jepang. Ketika tentara Jepang melarang pengibaran bendera selain dari bendera Jepang, Soekarno memerintahkan orang-orang agar menurunkan bendera "sampai tiba saatnya kita dapat mengibarkan Sang Dwi-warna dengan bebas dari semua bentuk dominasi asing". Soekarno bersama Hatta memandang kerja sama dengan Jepang sebagai cara terbaik dalam mencapai tujuan kemerdekaan Indonesia, "berlayar dalam satu kapal bersama orang Jepang sambil membawa barang dagangan ktia sendiri". Sementara itu, Leon Salim bersama Chatib Suleiman dan Muhammad Nasrun mempersatukan seluruh organisasi pemuda yang ada menjadi Pemuda Nippon Raya. Akan tetapi, organisasi ini tidak bertahan lama karena Jepang mencium gagasan yang ada di balik pendirian organisasi tersebut. Leon Salim ditangkap Jepang pada 14 November 1942 karena dianggap berupra-pura membantu Jepang, tetapi dibebaskan setelah seminggu. Pemerintahan sipil Sumatera Barat baru efektif berjalan setelah kedatangan Yano Kenzo ke Sumatera Barat pada 9 Agustus 1942 sebagai Residen Sumatera Barat. Sebelum bertugas di Sumatera Barat, Yano pernah menjabat sebagai Gubernur Prefektur Toyama. Gusti Asnan mencatat Yano berperan besar dalam mewujudkan kerja sama yang baik antara rakyat Sumatera Barat dengan pihak Jepang. Yano banyak menentang kebijakan Komando Angkatan Darat ke-25, tetapi tetap menjaga hubungan persahabatan dengan Panglima Angkatan Darat ke-25 Moritake Tanabe di Bukittinggi. Sebagai pemimpin sipil, Yano Kenzo melakukan pendekatan terhadap penduduk Minangkabau melalui kebudayaan. Ia memiliki minat pada alam, masyarakat, dan adat-istiadat Minangkabau yang menganut tradisi matrilineal. Menurut Gusti Asnan, pandangan politiknya yang dipengaruhi oleh minatnya yang besar terhadap Minangkabau menjadi dasar lahirnya ide untuk memprakarsai pendirian beberapa organisasi kemasyarakatan, sosial, dan budaya di Sumatera Barat. Karena bertahan dengan pendiriannya menentang kebijakan ekonomi otoritas Jepang, Yano mengundurkan diri sebagai gubernur pada Maret 1944 dan digantikan oleh Hattori Naoaki pada bulan berikutnya. Yano menilai, tentara pendudukan Jepang sangat menyadari sumber daya Indonesia yang berlimpah dan bertekad untuk terus mempertahankan kekuasaannya di Indonesia, sekalipun untuk itu Jepang terpaksa melepaskan Filipina dan Burma. Saat menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat, Yano mendirikan Kerukunan Minangkabau (Gui Gan) sebagai badan konsultasi dirinya dengan tokoh-tokoh Minangkabau. Kerukunan Minangkabau mengadakan pertemuan secara teratur di kediaman gubernur. Anggota-anggotanya adalah representatif dari ulama, politisi, pemimpin adat, dan akademisi yang bertindak sebagai dewan penasihat informal bagi shūchōkan. Gusti Asnan menyebut Kerukunan Minangkabau sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode awal. Ketika Komando Angkatan Darat ke-25 mengeluarkan perintah pendirian shū sangi kai atau DPR di setiap shū pada 8 November 1943, pemerintah sipil Sumatera Barat meneruskan Kerukunan Minangkabau yang telah ada sebagai shū sangikai dan Muhammad Sjafei ditunjuk sebagai ketua. Menanggapi peralihan kekuasaan ke tampuk tentara Jepang, kelompok ulama Minangkabau menggagas berdirinya Majelis Islam Tinggi (MIT) Minangkabau. Ahmad Husein mencatat, majelis ini didirikan sebagai wadah tempat para alim ulama bermusyawarah menghadapi politik pemerintahan Jepang. Sementara itu, menurut Datuk Palimo Kayo, MIT lahir berkat kesadaran tokoh-tokoh ulama pembaru tentang betapa berbahayanya kekuasaan Jepang. Didirikan pada 1942, organisasi ini memilih Sulaiman Ar-Rasuli sebagai ketua. Dengan tujuan untuk menghimpun semua kekuatan perjuangan umat Islam Minangkabau, MIT Minangkabau mendapat dukungan seluruh rakyat Minangkabau. Pimpinan organisasi keislaman pada masa itu seperti Perti dan Muhammadiyah bersama-sama bersatu dalam melawan politik Jepang. Untuk mendapat penerimaan dari rakyat, Jepang berupaya mendekati kelompok ulama dan memberi mereka tempat dalam pengambilan kebijakan. Ulama Minangkabau manfaatkan tawaran kerja sama dengan Jepang untuk menghimpun kekuatan perjuangan umat Islam Minangkabau melawan penjajah. Jepang memberi tempat bagi MIT Minangkabau dalam pengambilan kebijakan, di antaranya menunjuk Mahmud Yunus mewakili MIT Minangkabau sebagai penasihat residen. Selain itu, beberapa anggota majelis diundang untuk menghadiri Muktamar Islam Asia Timur Raya di Singapura. Meskipun ikut menggairahkan semangat rakyat membantu Jepang, ulama Minangkabau pada saat bersamaan ikut menyuburkan tumbuhnya semangat nasionalisme Indonesia. Mereka memberikan dorongan kepada para pemuda untuk mengikuti pelatihan-pelatihan militer yang dianjurkan oleh Jepang. Bersama tokoh adat, mereka terlibat dalam proses perekrutan calon perwira Giyugun untuk meminimalkan pengaruh propaganda Jepang dan menggantinya dengan semangat nasionalisme. Sejarawan Gusti Asnan mencatat, keterlibatan mereka dalam penyeleksian perwira adalah memilih calon yang telah berusia di atas 25 tahun hingga 30 tahun dan menyisipkan semangat cinta Tanah Air dalam mars Giyugun. Akademisi UIN Imam Bonjol Irhash A. Shamad menyebutkan, dukungan semu yang diberikan oleh para ulama Minangkabau pada masa pemerintahan Jepang telah membutakan mata Jepang dalam melihat apa yang ada di balik dukungan tersebut. Tokoh-tokoh masyarakat bersama-sama berusaha agar kemerdekaan Indonesia dapat segera dicapai. Menurut Irhash, melawan secara terang-terangan kepada Jepang pada waktu itu merupakan perhitungan yang keliru sehingga para ulama memberikan motivasi kepada rakyat untuk melawan dengan diam-diam "sambil berlindung di balik dukungan terhadap Perang Asia Timur Raya yang didengungkan oleh Jepang". Dalam waktu setahun sejak pendudukan, Jepang menggeser fokus kebijakan mereka dari konsolidasi kekuatan dan pengendalian terhadap daerah-daerah yang telah diduduki di Asia Tenggara ke upaya-upaya persiapan mempertahankan kawasan ini dari serangan Sekutu. Jepang berupaya mengerahkan tenaga penduduk untuk kepentingan Jepang. Sebelumnya, tentara pendudukan gagal melengkapi kekuatan angkatan bersenjata dengan menggunakan sistem tentara bayaran. Kepada Gubernur Sumatera Barat Yano Kenzo, Chatib Sulaiman mengusulkan pembentukan tentara sukarela di Sumatera Barat yang bisa dimanfaatkan untuk melengkapi kekuatan balatentara Jepang. Setelah Komando Angkatan Darat yang berkedudukan di Saigon, Vietnam mengeluarkan perintah untuk membentuk kyodo boei giyugun pada 8 September 1943, Panglima Angkatan Darat ke-25 Tanabe memberi kewenangan penuh kepada Gubernur Sumatera Barat untuk melaksanakan pembentukan tentara sukareka. Pada 14 Oktober 1943, Chatib Sulaiman memimpin dan memelopori terbentuknya panitia untuk pembentukan Giyugun bernama Giyugun Koenkai. Panitia ini di bawah pengawasan Jepang menyaring calon perwira sukarela yang akan dibentuk. Ada sekitar 20.000 yang melamar Giyugun, tapi hanya 1.000 jatah yang tersedia. Tanggung jawab perekrutan calon perwira Giyugun diserahkan Chatib Sulaiman bersama Mahmud Yunus, dan Ahmad Datuak Simarajo. Mereka meyakinkan para perwira bahwa bekal latihan militer dari Jepang ditujukan untuk pencapaian cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dorongan yang besar bagi perkembangan Giyugun diberikan oleh Yano dalam suatu rapat besar pada tanggal 20 November 1943 di Bukittinggi. Terakhir ia mampu mempengaruhi para penghulu, yang setidak-tidaknya telah dapat merekrut 20.000 prajurit dari setiap anggota keturunannya. Seruan penghulu ini mendapat sambutan yang baik dari kelompok kaumnya. Giyugun menjadi satu-satunya kekuatan militer yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Angkatan Giyugun mula-mula dibentuk di Padang dan wilayah pesisir. Di wilayah dataran tinggi, Giyugun baru dibentuk pada pengujung 1944. Propaganda Jepang semakin intensif dalam tahun 1944. Berbagai macam kelompok yang ada disatukan dalam Hokokai, yang dipimpin oleh Muhammad Syafii dan Khatib Sulaiman dari golongan gerakan nasionalis atau terpelajar; Datuk Parpatih Baringek dan Datu Majo Uang dari kelompok adat; serta Djamil Djambek dan Sutan Mansur dari kelompok agama. Giyugun Koenkai (lalu berganti Giyugun Koenbu), perhimpunan pendukung Giyugun, dibentuk sebagai penghubung antara tokoh sipil dengan tokoh militer. Haha No Kai, organisasi sayap Giyugun yang beranggotakan perempuan didirikan untuk menyiapkan perbekalan untuk para perwira. Sampai proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, Giyugun telah menyelenggarakan dua kali latihan bagi opsirnya. Seiring eskalasi ketegangan Perang Pasifik, Jepang meningkatkan kontrol terhadap penduduk. Dalam upaya memenuhi kebutuhan terhadap tenaga kerja, otoritas Jepang mengenakan kerja wajib rōmusha kepada penduduk untuk berbagai keperluan Jepang, seperti membangun jalan raya, jalur kereta api, jembatan, benteng-benteng, dan terowongan perlindungan. Selain itu, kepada para pegawai negeri, pedagang, anak-anak sekolah serta penduduk yang tidak ikut kerja paksa dikenai kinro hoshi, kerja bakti mengumpulkan batu-batu kali, pasir, dan kerikil serta mengangkutnya ke tempat-tempat yang diperlukan. Bunker dan terowongan perlindungan peninggalan Jepang ditemukan di Padang dan Bukittinggi. Jalur kereta api Muaro-Pekanbaru adalah hasil kerja paksa yang melibatkan kurang lebih 5.000 tahanan perang dan 30.000 pekerja rōmusha. Lewat jalur pendidikan, Jepang melakukan perubahan-perubahan secara mendasar di Sumatera Barat. Sekolah-sekolah dimobilisasi untuk kepentingan Jepang. Bahasa Indonesia dijadikan bahasa pengantar di sekolah untuk mempekenalkan kebudayaan Jepang dan pada saat yang sama, para murid dalam berbagai tingkatan diajarkan berbahasa Jepang. Sementara itu, golongan terpelajar, terutama para guru, pegawai negeri, dan murid-murid dijadikan "orang Jepang baru". Seikeirei (rukuk menghadap istana kaisar di Tokyo) dan mukto (memperingati arwah-arwah pahlawan Jepang) dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah mendengar pidato shūchōkan atau para petinggi Jepang. Keirei (memberi hormat dengan sikap berdiri) wajib dilakukan setiap kali berpapasan dengan pembesar-bahkan mobil-Jepang. Penanggalan Masehi yang digunakan diganti dengan tahun Sumera yang selisihnya 660 tahun, sementara tanda waktu disesuaikan dengan waktu Jepang yang selisihnya sekitar 2,5 jam dari waktu Tokyo. Selama pendudukan Jepang, banyak perempuan Sumatera Barat menjadi korban kekerasan tentara Jepang, khususnya eksploitasi seksual. Tindak kekerasan terhadap perempuan telah terjadi sejak hari-hari pertama bala tentara Jepang datang. Aturan-aturan nilai yang menghargai perempuan dilecehkan oleh tindakan seperti memaksa, menculik, dan memperkosa, hingga menjadikan perempuan penghibur secara paksa atau jugun ianfu. Jepang tidak lagi bisa mendatangkan perempuan penghibur dari negeri mereka sehingga sebagai gantinya, Jepang membuat kebijakan untuk memaksa perempuan sebagai penghibur bagi kebutuhan tentaranya di rumah-rumah bordil yang mereka dirikan. Kebijakan pemerintah yang dikeluarkan pada 1938 mengatakan bahwa setiap batalion perlu memiliki rumah pelacuran, agar serdadu Jepang dapat konsentrasi dalam menghadapi perang. Mengatasi tindakan berupa paksaan ini telah diupayakan oleh pemuka daerah setempat. Soekarno ketika berada di Padang setelah berdiskusi dengan beberapa ulama memberi izin praktik prostitusi untuk tentara Jepang. Pemberian izin tersebut ditandai dengan adanya rumah-rumah bordil di beberpa tempat Sumatera Barat seperti Padang, Bukittinggi, dan Payakumbuh. Umumnya para pekerja seks berasal dari perempuan non-Sumatera Barat, kebanyakan mereka berasal dari perempuan yang dibawa oleh Belanda bekerja dan hidupnya terlantar. Pemberian izin Soekarno terhadap rumah-rumah bordil awalnya bertujuan agar tentara Jepang tidak lagi mengganggu perempuan-perempuan Sumatera Barat. Namun, para perempuan yang diberi izin beroperasi pada kamp-kamp Jepang tidak sebanding jumlahnya dengan tentara yang ribuan jumlahnya. Kaigun Heiho berpangkat kopral. Dengan adanya karcis, serdadu Jepang menjadi teratur dalam menunggu giliran untuk dapat bersama dengan perempuan yang diinginkannya. Ketimpangan yang mencolok menimbulkan rasa tidak puas pada banyak serdadu Jepang sehingga mendorong mereka melakukan pemaksaan kepada banyak perempuan Sumatera Barat. Untuk mendapatkan perempuan, Jepang melakukan dengan cara pemaksaan, penculikan, pemerkosaan, dan bujukan demi mencapai maksudnya. Mereka bahkan tidak segan-segan menarik perempuan walau sudah kawin, tidak peduli perempuan itu sedang duduk dengan suaminya. Menurut Akira Oki, diiziinkannya penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah berpengaruh pada perkembangan bahasa Indonesia dan menyebabkan timbulnya rasa persatuan di kalangan rakyat. Pendidikan yang diberikan Jepang mempercepat matangnya usaha kemerdekaan Indonesia, satu hal yang tidak disadari oleh penguasa Jepang di Sumatera Barat. Dalam lapangan politik, Jepang telah mewariskan bentuk lembaga representatif Kerukunan Minangkabau yang menghimpun tokoh adat dan agama sebagai penasihat bagi residen. Dalam bidang militer, Jepang memberikan pelatihan militer lewat tentara sukarela Giyugun. Audrey Kahin mencatat, kerja sama di antara tokoh adat dan agama selama pendudukan Jepang di Sumatera Barat telah membentuk mata rantai hubungan teritorial dan landasan bagi terciptanya saling pengertian, sesuatu yang sangat bernilai pada tahun-tahun setelah kemerdekaan. Soekarno diasingkan oleh Belanda ke Bengkulu sejak tahun 1938. Ketika pasukan Jepang mendarat di Palembang, Belanda mengatur pemindahan Soekarno ke Padang untuk menerbangkannya ke Australia. Menurut sejarawan Mestika Zed, Belanda khawatir jika nantinya Soekarno dimanfaatkan Jepang untuk tujuan propaganda anti-Belanda. Namun, kapal yang sedianya akan mengangkut Soekarno dari Padang telah ditenggelamkan Jepang dekat Pulau Enggano. Tentara Belanda menyelamatkan diri ke Barus dan meninggalkan Soekarno di Painan. Tokoh-tokoh Hizbul Wathan menjemput Soekarno untuk dibawa ke Padang dengan menggunakan pedati. Kerukunan Minangkabau didirikan oleh Yano pada 1 Oktober 1942. Anggotanya terdiri dari 10 sampai 20 orang, yang diwakili dari setiap distrik, subdistrik, kepala nagari, kepala adat, para ulama, pemuda, dan kaum terpelajar. Jepang merancang pembentukan organisasi Masyumi di pusat. Kantor Urusan Agama didirikan di setiap keresidenan bernama Shu Muka. Para ulama diberikan program pelatihan khusus yang disebut dengan Kiyai Koshokai dalam rangka mempersiapkan mereka menjadi alat propaganda Jepang. Jepang pada tanggal 14 Maret 1942 meyebutkan, "bahwa agama-agama harus dihormati sejauh mungkin untuk menjaga kestabilan pikiran rakyat… Kaum Muslim, harus diberikan perhatian khusus untuk memanfaatkan mereka dalam rangka mencengkeram pikiran rakyat". Chatib Sulaiman sibuk berkeliling Sumatera Barat untuk merekrut calon perwira Giyugun, sebagian besar waktunya digunakan untuk bolak-balik antara Padang dan Bukittinggi. Pemuda-pemuda di Minangkabau didorong untuk menjadi pasukan Giyugun agar mendapat pelatihan kemiliteran dari Jepang. Dengan dorongan dari tokoh adat dan agama, banyak pemuda-pemuda mendaftarkan diri menjadi Giyugun. Di antara mereka yang tercatat adalah Dahlan Djambek, Ismail Lengah, Syarif Usman, Dahlan Ibrahim, Syofyan Nur, Syofyan Ibrahim. A. Thalib, Nurmatias, Sayuti Amin, Alwi St. Kongres Nasional Sejarah, 1996: sub tema Dinamika Sosial Ekonomi, III. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Siti Fatimah 2011, hlm. Nino Oktorino (2019). Seri Nusantara Membara: Invasi ke Sumatra. Elex Media Komputindo. hlm. Djoeir Moehamad; Abrar Yusra (1997). Memoar seorang sosialis. Yayasan Obor Indonesia. hlm. PDRI, Pemerintah Darurat Republik Indonesia: dikaji ulang. Masyarakat Sejarawan Indonesia. 1990. hlm. Ahmad Husein 1991, hlm. Pejuang kemerdekaan Sumbar-Riau: pengalaman tak terlupakan. Yayasan Pembangunan Pejuang 1945 Sumatra Tengah. Burhanuddin Daya (1990). Gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Tiara Wacana Yogya. hlm. Penerangan, Indonesia Departemen (1959). Propinsi Sumatera Tengah (dalam bahasa Melayu). Bahar, Dr Brigjen (Purn) Saafroedin. ETNIK, ELITE DAN INTEGRASI NASIONAL: MINANGKABAU 1945-1984 REPUBLIK INDONESIA 1985-2015. Gre Publishing. Asoka, Andi (2005). Sawahlunto, dulu, kini, dan esok: menyongsong kota wisata tambang yang berbudaya. Pusat Studi Humaniora (PSH), Unand kerja sama dengan Kantor Pariwisata, Seni, dan Budaya, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Zusneli Zubir 2009, hlm. Oki, A. (1977). Social Change in the West Sumatran Village: 1908-1945 (dalam bahasa Inggris). Kahin, Audrey Richey (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. Zusneli Zubir (2006). Kekerasan Terhadap Perempuan Minangkabau Masa Pendudukan Jepang (1942-1945). Universitas Gadjah Mada. Hashim, Rosnani (2010). Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago (dalam bahasa Inggris). Gusti Asnan (2003). Kamus Sejarah Minangkabau. Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. Gusti Asnan (2006). Pemerintahan Daerah Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi. Mahmud Yunus (1996). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Mardjani Martamin (1977). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aiko Kurasawa (1993). Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa, 1942-1945. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Irhash A. Shamad (2007). Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau. Siti Fatimah (1993). Sistim Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Minangkabau pada Masa Jepang (Laporan). Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Padang. Siti Fatimah (2011). "Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Minangkabau pada Masa Pendudukan Jepang". Sukarno. Seri Buku Tempo. Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk rincian lebih lanjut.