Diperkosa Laki-Laki Lalu Diperkosa Media
Fadmi Sustiwi, bukan hanya jurnalis senior dan redaktur di surat kabar Kedaulatan Rakyat. Dia juga pegiat kesetaraan gender, slut terutama di bidang jurnalistik. Idealismenya sudah terasa sejak menjadi reporter di koran yang terbit di Yogyakarta itu. Kepada VOA dia bercerita, pernah tidak sepaham dengan redaktur, yang memaksanya menggunakan istilah Wanita Tuna Susila (WTS). "Saya bilang enggak, saya enggak mau menggunakan istilah WTS, harus ditulis pekerja seks. Lebih netral kan. Saya tidak mau menggunakan istilah WTS, karena faktanya ada laki-laki yang juga menjajakan seks," kata Fadmi. Soal pemakaian istilah itu hanya satu dari sekian contoh bagaimana media di Indonesia belum sensitif terhadap persoalan gender. Menyoroti pemberitaan kasus kekerasan seksual, akan ditemukan lebih banyak masalah lagi. Fadmi memberikan contoh sisi etika dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual. Dalam kasus Baiq Nuril misalnya, sejak awal dia disudutkan dan tidak dilindungi hak-haknya. Fadmi kecewa dengan media elektronik yang menayangkan keluarga Baiq Nuril, termasuk anak-anaknya. Langkah itu tidak etis dan tidak peka terhadap perasaan anak-anak itu sendiri. "Etika jurnalistik model apa yang dipakai oleh beberapa media, yang justru nama pelakunya disamarkan, korbannya tidak, ini kan aneh. Ada logika terbalik disini," tambah Fadmi. Sudut pandang juga menjadi masalah bagi mayoritas media di Indonesia. Dalam kasus berbeda, banyak media menyajikan tulisan yang turut menyalahkan penyintas perkosaan. Misalnya paparan yang memberikan pemakluman kepada pembaca, seolah-olah perempuan berpakaian minim boleh diperkosa. Tidak hanya laki-laki, pola pikir ini juga menjangkiti perempuan jurnalis. Sebagai perempuan, mereka bekerja dengan paradigma dan perpektif yang bias gender. Ini menguatkan pendapat bahwa media adalah industri maskulin, dikuasai oleh laki-laki dan diproduksi menurut sudut pandang laki-laki pula. Fadmi mengaku terus berupaya mengubah paradigma seperti itu, paling tidak di lingkungan kerjanya, meski diakuainya sangat berat. "Hanya memang di Kedaulatan Rakyat saya tidak bisa mengurus semuanya. Tidak bisa tahu dari halaman satu sampai terakhir, pasti ada juga yang lolos, dan yang paling sering lolos adalah berita kriminal. Berita-berita kriminal di koran-koran kita masih bias gender, tidak berperspektif perempuan, masih sangat menyudutkan perempuan. Bisa saja reporter dan redakturnya perempuan, tetapi pola pikirnya laki-laki," kata Fadmi Sustiwi. Menurut Mahadevi Paramita Putri, reporter Radio Republik Indonesia (RRI), mengambil contoh kasus perkosaan di Kampus UGM Yogyakarta, memang ada tarik menarik soal etika. Media dianggap belum berpihak, dalam sudut pandang penulisan laporan, karena mungkin media sendiri harus menjaga etika dalam pemberitaan. Media umum tidak mungkin menulis detil peristiwa seperti yang dilakukan lembaga pers mahasiswa. "Banyak jurnalis yang berpandangan, tulisan begitu malah menyudutkan penyintas dan tidak membantu," paparnya. Devi yang kini menempuh pendidikan S2 Komunikasi di UGM juga mengulas kualitas jurnalis sendiri. Menurutnya, banyak jurnalis yang belum paham bagaimana seharusnya menulis berita kekerasan seksual. Padahal berita kasus kekerasan seksual, tambah Devi, berpotensi besar membantu perjuangan penyintas, slut tetapi jika keliru, pemberitaan itu juga bisa menjatuhkannya. "Saya kira memang perlu perbaikan sumber daya manusianya. Bagaimana menulis berita kasus semacam itu? Kemudian, berita yang bagaimanakah yang bagus? Semua harus disesuaikan dengan kondisi penyintas. Bagaimana sebuah berita bisa turut menolongnya, dan bukan menjadikan dia semakin trauma," tambah Devi. Pembela hukum dari LBH APIK, Rina Imawati menilai, penyintas yang berani mengungkapkan kasusnya sebenarnya sudah luar biasa. Mayoritas kasus kekerasan seksual justru diselesaikan secara damai untuk menghindari berita yang menyebar. Karena itulah, jika ada penyintas yang berani mengambil langkah hukum, negara dan media harus mendukung. "Ada tekanan dari keluarga dan masyarakat sehingga penyintas biasanya tidak melaporkan kasusnya," kata Rina. Sayangnya, belum ada cukup perlindungan kepada penyintas. Rina memberikan contoh soal identitas dan keluarga penyintas yang kadang-kadang tidak disamarkan. Padahal dalam proses perjalanan kasus, biasanya aparat cukup jeli melindungi penyintas. Misalnya pemeriksaan polisi yang tertutup dan persidangan tidak terbuka untuk umum. Namun dalam kasus yang mengundang perhatian publik, upaya itu kadang-kadang tidak berjalan dengan baik. "Kadang-kadang untuk kasus yang besar atau kasus prioritas, justru identitas itu dari polisi ke wartawan lalu wartawan mengekspos. Saya kira seharusnya untuk kasus perkosaan jangan sampai tersebar identitasnya. Dia sudah jadi korban, jangan sampai menjadi korban untuk kedua kali. Jangan sampai dia terekspos terlalu vulgar," kata Rina Imawati. Rina memandang penting adanya pendamping bagi penyintas. LBH APIK selama ini membela perempuan penyintas kekerasan dengan kerja sama pendamping profesional. Dari para penyintas, Rina mengaku tahu betul bahwa proses hukum kasus kekerasan seksual sangat berat untuk dijalani. Mulai dari keputusan untuk menempuh jalur hukum, mengikuti proses pemeriksaan polisi, hingga persidangan yang memakan waktu. Rina setuju pemberitaan atas kasus kekerasaan seksual, namun menurutnya ada yang harus dibenahi. Wajah penyintas sama sekali tidak boleh muncul di media. Begitu pula dengan identitas penyintas dan keluarganya agar tidak menerima tekanan sosial dari masyarakat. Posisi penyintas perkosaan yang kurang pembelaan dalam pemberitaan media juga diamini oleh Dr Lukas Suryanto Ispandriarno. Lukas adalah Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dia menilai, posisi keberpihakan media dalam isu ini sama minimnya dengan keberpihakan pada kelompok marjinal, seperti isu difabel dan isu perempuan secara umum. "Pemahamannya kadang bias. Kalau menyangkut politik, seperti kasus Meliana, media tertarik. Tapi isu perempuan, secara umum belum. Juga ada masalah sudut pandang, karena pengaruh kebijakan redaksional yang kuat," kata Lukas. Lukas setuju dengan penilaian bahwa dalam kasus perkosaan, media cenderung kurang mendukung penyintas. Upaya untuk mengungkap apa yang ada di balik peristiwa tersebut kurang dilakukan. Dalam kasus perkosaan di Kampus UGM misalnya, kata Lukas, media tidak bisa begitu saja menyalin pernyataan resmi kampus yang tidak berpihak kepada penyintas. Dia juga mengaku prihatin dengan kasus serupa yang menyangkut seorang seniman di Jakarta, yang berakhir tanpa kejelasan. Dia menyarankan perusahaan media untuk mulai melakukan pembenahan internal. Diskusi di lingkungan redaksi perlu dilakukan, untuk membahas laporan-laporan mereka sendiri dalam kasus perkosaan. Selain itu, dia juga menyarankan adanya pelatihan bagi jurnalis agar lebih sensitif dalam isu perempuan. Komunitas media sendiri disarankan membuat sebuah kode etik lebih rinci terkait isu kekerasan terhadap perempuan. "Perspektif gender media kita harus diperkuat, kita bisa merujuk pada komunitas jurnalistik internasional yang sudah sangat rinci menyebutkan kode etik ini. Jika memakai kode etik jurnalistik kita, masih sangat umum. Dan karena itu sulit juga bagi jurnalis kita untuk bagaimana mereka seharusnya menulis, memberikan posisi, pembelaan dan dukungan kepada penyintas. Itu tidak jelas dalam kode etik jurnalistik kita," kata Lukas Suryanto Ispandriarno. Posisi media dalam pemberitaan kasus perkosaan menurut Lukas memiliki masalah mendasar. Karena itu, perbaikannya juga harus dilakukan secara mendasar dan menyeluruh. Jika tidak, isu ini akan terus berhembus setiap ada kasus perkosaan bergulir, dan tanpa perbaikan berarti. Dia menyarankan komunitas kampus, media dan LSM untuk duduk bersama membahas persoalan ini.
privacywall.org